Selasa, 08 Juli 2014

Jejak#7 : Keajaiban dataran tertinggi di Tanah Jawa (Dieng Plateau)

Jumat Mubarak bertepatan dengan tanggal 30 Mei 2014, saya dan delapan teman yang lain menuju daerah yang saya belum pernah melihatnya di belahan Indonesia manapun. Perjalanan dari Jogja sekitar 4 jam menuju ke tempat  itu. Perjalanan malam, sekitar pukul 23.00 WIB, membuat  kami terlelap di mobil EFL yang kami sewa. Di Temanggung kami berhenti sejenak menjemput satu teman, jadilah kami besepuluh.

Pukul 03.00 WIB dini hari, Alhamdulillah kami sampai di daerah tujuan. Ada beberapa rombongan lain yang juga berhenti di pangkal  wisata. Disini sangat dingin sekali. Bak di Korea, asap keluar dari mulut kami yang sedang berbicara. Mengencangkan baju hangat dan memakai sarung tangan, saya keluar dari mobil untuk meregangkan otot dan mencari kamar kecil. Saya melihat rombongan lain menghidupkan api untuk menghangatkan diri. Saya juga melihat plang-plang penginapan di sekitar bertuliskan "Dieng Plateau".

Jejak saya kali ini adalah dataran tinggi Dieng. Belum seterkenal tempat wisata alam lainnya, tetapi dataran tertinggi di tanah Jawa ini menyajikan pesona alam yang sangat menakjubkan. Mulai dari tempat pemburuan matahari di bawah langit biru, pemandangan negri atas awan, dan pesona surga alam yang masih tersembunyi lainnya. Masya Allah.

Menjelang subuh, kami mencari mesjid ke arah tujuan wisata pertama. Sesampainya di mesjid, kami turun menuju kamar mandi. Subhanallah, benar-benar dingin. Menjejakkan kaki di lantaipun sudah membuat kami tak berani menyentuhnya sebentar saja. Walaupun demikian, kami tak urung mengambil wudhu walaupun terasa sangat sangat dingin. Kaki saya sampai terasa kaku. Setelah membaca beberapa informasi di internet, benar, dieng merupakan daerah yang sangat dingin, Suhunya mencapai 10-15 derajat Celcius, bahkan bisa mencapai minus derajat Celcius.

Setelah shalat Subuh kami menuju tempat wisata pertama, Bukit Sikunir. Tak disangka, di kaki bukit, banyak wisatawan yang akan bersiap mendaki bukit. Pemandangan sekitar masih sangat gelap. Cahaya matahari belum muncul sedikitpun saat kami masih di kaki bukit. Demi memburu matahari, sang golden sunrise, kami yang ditemani oleh pemandu dengan gagah berani mulai mendaki Bukit Sikunir. Saya sangat menikmati tiap tapak yang saya daki. Walaupun sebelah kiri jurang, saya tidak merasa ada ketakutan saat itu. Sudah hampir sampai. Matahari sudah memberi aba-aba akan terbit dari sebelah timur. Pancaran cahaya yang sangat indah membuat banyak orang tak sabar melihat bola emas itu keluar dari ufuk timur. Sebelum sampai puncak, kami berhenti sejenak menikmati pesona alam yang indah. Pinus-pinus turut menghiasi pemandangan. Siluet gunung sekitar mulai terlihat. Cahaya-cahaya yang malu-malu berpancar dan awan-awan bak lautan membuat saya sangat merindukan negeri atas awan ini.
Negeri Atas Awan Bukit Sikunir
Pendakian ini akhirnya sampai. Masya Allah, Kami berada di puncak bukit Sikunir yang terletak di desa tertinggi Pulau Jawa. Banyak wisatawan yang sudah bersiap-siap mengabadikan pertunjukan alam yang hanya bisa dilihat di tempat-tempat tertentu. Walaupun banyak orang yang menggunakan SLR dan tongsis, kami tetap percaya diri tersenyum di depan kamera digital dan kamera Handphone kami :D.

Tepat pukul 06.00 WIB, bola emas itu keluar perlahan-lahan. Sangat indah. Sangat indah sekali. Saya terpaku melihatnya. Tak henti-hentinya kami memuji sang Maha Pencipta. MasyaAllah. Alhamdulillah. Segala rasa dingin, kaki kaku dan lelah telah sangat-sangat terobati. Saya yang sebelumnya belum pernah melihat sang surya terbit, benar-benar terpana. Tak terlupakan rasa itu. Walaupun saya tidak pernah melihatnya di tempat lain, saya yakin pemandangan ini tak kalah indahnya.
Golden Sunrise (copy)
Setelah kami termanjakan oleh pemandangan golden sunrise, kami langsung menuruni Bukit Sikunir. Di dataran tinggi Dieng masih banyak tempat yang harus kami jelajahi. Hampir mendekati kaki bukit, kami disambut oleh pemandangan telaga kecebong. Subuh tadi, saya tidak tahu kalau ada telaga ini. Karena langit  masih gelap, keindahan telaga kecebong tidak dapat terlihat. Konon, diberi nama kecebong karena bentuk telaga seperti kecebong. Ada juga yang mengatakan bahwa banyak kecebong di dalamnya. Wallahu'alam. Yang pasti, telega tersebut juga memanjakan mata setiap orang yang melihatnya. Disini, kami juga melihat ladang-ladang milik warga. Ladang tersebut banyak di tumbuhi cabai, kentang dan terlihat beberapa pohon carica. Carica merupakan buah khas Dieng. Pohon dan buahnya seperti pepaya, tetapi lebih kecil dan rasanya juga berbeda. Buah carica dijadikan oleh-oleh khas dieng dalam bentuk manisan.

Telaga Kecebong (copy)
Dataran tinggi dieng mempunyai beberapa kawah vulkanik yang masih aktif.  Salah satunya adalah Kawah Sikidang yang merupakan tujuan menarik kami kedua. Tempatnya tidak terlalu jauh dari Bukit Sikunir. Mendekati Kawah Sikidang, pemandangan yang awalnya segar berwarna hijau berubah menjadi asap-asap yang keluar dari bumi. Memang sangat berbeda, kawasan kawah sikidang terlihat tandus dengan asap-asapnya. Bau belerang sudah terasa di pinggiran kawasan kawah sikidang. Di pinggiran kawah, terdapat warung-warung makanan dan tempat parkir. Sesuai rencana, sebelum menelurusi kawah kami sarapan terlebih dahulu. Carica juga dijual disini.  Kami memborongnya sebagai oleh-oleh untuk dibawa ke Jogja.
Carica Manisan Khas Dieng
Setelah perut terasa kenyang, kami lanjut memasuki kawasan kawah. Kawasan ini begitu tandus dan berbukit-bukit. Bau belerang semakin menyengat. Alhamdulillah kami semua sudah antisipasi, kami menolak tawaran para penjual masker. Lalu kami pakai masker yang sudah kami bawa. Tak berapa lama memasuki kawasan ini, kami menemukan ibu2 penjual batu belerang. Mereka mempromosikan kalau belerang dapat menghilangkan jerawat dan menghaluskan kulit. 
Ibu Penjual Batu Belerang (copy)
Hanya saya dan kelima teman yang berhasil menaiki bukit-bukit hingga berjumpa dengan sebuah kawah besar. Teman-teman yang lain merasa kelelahan dan tidak tahan dengan bau yang semakin menyengat. kawah besar yang kami lihat berisi campuran air dan lumpur yang terus menggelegak. Menurut informasi, suhu kolam ini mencapai 98 derajat Celcius bahkan lebih. Sungguh Panas. Di tepi kolam dipasang pagar dan peringatan tidak boleh berdiri di pinggir kawah. Konon cerita, ada pengunjung yang berani berdiri di bibir kawah dan alhasil kakinya terperosok. Ketika diangkat, kakinya meleleh dan hanya tinggal tulang. Seram. Harus ikuti petunjuk!

Ada yang menarik, saya salut dengan bapak penjual telur. Dengan memanfaatkan pagar, bapak itu menempel nama jualannya "telur rebus kawah". Ya benar, telur yang dijual itu direbus di kawah yang menggelegak. Dengan alat seperti pancing, bapak penjual menggikat telur di ujung kail pancingan. Sayang, saya tidak mencicipinya karena teman-teman terus mengajak keliling, tidak mau menunggu telur hingga matang. Tapi, secara kesuluruhan pemandangan alam disini sangat eksoktik. Saya dan teman-teman lain sangat menikmatinya. 

Kawah Sikidang (copy)
Perjalanan kami lanjutkan ke tujuan wisata ketiga. Di balik rimbunnya bukit-bukit dan pepohonan terdapat telaga yang sangt cantik, Telaga Warna. Dengan tiket hanya seharga Rp. 2000, kami memasuki pintu gerbang telaga. Sungguh indah. Indah sekali telaga berwana biru kehijauan yang dikelilingi bukit-bukit ini. Saya merasa tenang disini, pemandangan telaga sungguh menakjubkan. Tiap spot sayang untuk ditinggalkan sehingga kami berlama-lama mengabadikan tempat ini tiap spotnya. Airnya tenang, berwarna biru kehijauan. Beberapa bagian terdapat letupan-letupan air mendidih karena telaga ini mengandung sulfur yang cukup tinggi.
Telaga ini dikenal sebagai telaga yang berwarna-warni. Dari bawah, kami tidak bisa melihat degragasi yang menjadi daya tarik telaga ini. Untuk melihatnya, lagi-lagi kami harus mendaki bukit yang lumayan tinggi, bukit Sidengkang. Penjalajahan dieng dari subuh tadi cukup melelahkan kami. Tetapi, untuk mendapatkan pemandangan yang indah, kami tetap semangat mendaki bukit. Beberapa kali kami berhenti untuk mengumpulkan tenaga. Hingga kami mendengar suara-suara pengunjung, kami semakin bersemangat! Alhamdulillah sampai. Dan benar, kami menemukan telaga ini lebih cantik. Dibawah sana kami melihat hamparan telaga yang dikelilingi oleh pepohohan dan bukit-bukit. Degradasi warna ungu di pingirnya, kemudian bergerak kedalam warnanya menjadi hijau, dan di pusat yang cukup lebar warnanya menjadi hijau pucat kebiruan. Sungguh mempesona. Dari bukit ini, kami juga melihat telaga Pengilon, telaga berwarna coklat yang bisa digunakan untuk berkaca. Masya Allah.
Telaga Warna dan Telaga Pangilon dari Bukit Sidengkang
Dari telaga ini kami lanjut ke tujuan wisata keempat, Gardu Pandang Tieng. Selama perjalan menuju kesini, saya sudah terlelap pulas. Terasa Lelah. Terasa berat untuk bangkit. Tetapi, saya tidak mau meninggalkan pemandangan dari tempat-tempat wisata Dataran Dieng ini. Akhirnya saya bangkit. Di tempat ini, kami bisa melihat hamparan Dieng yang luas. Bukit- bukit, rumah-rumah warga, serta ladang-ladang kentang terlihat dari sini. bangunan sederhana ini biasanya digunakan untuk transit para wisatawan Dieng.
Gardu Pandang (copy)


Pemandangan dari Gardu Pandang (copy)
Setelah ini, kami lanjut ke tempat tujuan wisata terakhir. Kami menuju agrowisata perkebunan Teh Tambi. Perkebunan ini tepat berada di lereng Gunung Sindoro sehingga menampilkan pesona alam yang indah. Udara yang sejuk membuat kami ingin berlama-lama disini, tetapi karena perut mulai lapar dan belum Shalat Dzuhur kami segera pulang. Kami menuju Temanggung rumah salah satu teman, Dinia, sebelum lanjut ke Jogja.
Alhamdulillah, hari ini begitu istimewa. Sekitar pukul 19.00 WIB, saya sudah berada di Kos kembali. ^_^


Muara Enim




9 Ramadhan 1345 Hijriah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Enjoy your visiting.. Please, leave your comment.. :)